(Go: >> BACK << -|- >> HOME <<)

Artikel

Mngusti

Jadikan Teman | Kirim Pesan

Seorang Pengangguran yang Masih Belajar Menulis...

Mengenal Suku Tidung (Bagian 1) (Kisah Raja Alam)

ENG | 29 July 2012 | 21:29 Dibaca: 42   Komentar: 0   1 dari 1 Kompasianer menilai bermanfaat

Suku tidung adalah salah satu sub suku dayak yang berada di pesisir utara Kalimantan timur (Tarakan, Nunukan, Sebuku-Sabah). Suku tidung jarang terdengar namanya bila dibandingkan dengan etnis dayak. Namun saya akan sedikit bercerita melalui tulisan ini mengenai asal usul suku tidung serta kerajaan-kerajaannya yang sempat eksis di masa berabad-abad yang lalu.

Raja Alam adalah cicit dari Sultan Pangeran Tua Raja ke 10 dari Kerajaan Berau (1673-1700) dan juga cicit dari Sultan Pangeran Adipati, raja ke – 11 (1700-1731). Orang tua dari Raja Alam adalah Sultan Amiril Mukminin, Raja Ke 12 Kerajaan Berau (1767-1779).

Dengan adanya pelanggaran terhadap perjanjian yang telah dibuat semasa pemerintahan Aji Dilayas (Raja Kerajaan Berau ke -9) menyatakan : bahwa keturunan Aji Pangeran Tua dan Aji Pangeran Dipati, diatur secara bergantian sewaktu Sultan Mohammad Zainal Abidin, raja le 15 (1799-1800) meninggal dunia.  Pelanggaran ini disebabkan oleh kelompok keturunan Aji Pangeran Tua  yang menyatakan bahwa giliran Raja Alam yang menjadi sultan sejak meninggalnya Sultan ke 15. Namun pernyataan itu ditentang oleh Aji Pangeran Dipati yang mengatakan bahwa tongkat estafet kesultanan masih di pegang oleh giliran mereka.

Pertentangan terus memuncak yang diikuti dengan peperangan kecil antar kedua kelompok itu. Dengan memperhatikan wasiat dari Sultan Mohammad Zainal Abidin,  maka Batu Raja yang diangkat untuk menggantikan posisi Sultan Mohammad Zainal Abidin dengan gelar Sultan Mohammad Badaruddin sebagai raja ke-15 dari Kerajaan Berau.

Melihat kondisi yang seperti itu Raja Alam dan pengikutnya tidak senang dengan keputusan yang telah dibuat pada surat wasiat tersebut. Kemudian Raja Alam mengangkat dirinya sebagai Raja yang bergelar Sultan Alimuddin Raja Alam pada tahun 1810 dan memindahkan pusat kerajaannya di Tanjung dengan nama Kerajaan Sambaliung. Kedua lokasi yang tersebut tidak berjauhan seperti yang terlihat pada masa sekarang. Kerajaan yang didirikan oleh Sultan Alimuddin Raja Alam hanya mampu bertahan selama 24 tahun, setelah itu pada tahun 1834 beliau ditangkap Belanda dan dibuang ke Makassar.

Sejak didirikannya kerajaan Sambaliung, pusat pemerintahan telah diatur disana, selain memusatkan pemerintahan kerajaan Sambaliung juga mengupayakan jalur kerja sama dengan kerajaan-kerajaan lain seperti kerajaan Sulu dan kerajaan Kutai. Sehingga dalam waktu yang tidak begitu lama armada laut yang dimiliki oleh Raja Alam sudah cukup kuat. Panglima-panglima yang membantu Raja Alam adalah mereka-mereka yang telah berpengalaman berperang dengan Belanda sebelumnya seperti ; Peta Pangeran dan Panglima Limbutu dari Bugis dan Syarif Dakula dari Sulu.

Melihat kekuatan armada laut kerajaan Sambaliung semakin pesat, ternyata menimbulkan kekhawatiran Sultan Mohammad Badaruddin dari Gunung Tabur. Hingga sultan Mohammad Badaruddin mengutus beberapa orang untuk meminta bantuan belanda di Samarinda dan Makassar. Inilah situasi yang memang ditunggu oleh Belanda, apalagi Belanda telah membuat Kontrak Perjanjian dengan Kerajaan Berau pada tahun 1787 untuk mengadakan hubungan dagang, dan saling membantu dalam soal keamanan serta pengakuan oleh Kerjaan Berau terhadap Kedaulatan Belanda atas wilayah Berau. Namun melalui situasi yang gawati ini, Sultan Mohammad Badaruddin dari Gunung Tabur jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Sebagai penggantinya diangkatlah Aji Kuning yang bergelar Sultan Mohammad Gazi Mahyuddin pada tahun 1834. Masa pengangkatan raja baru ini merupakan puncak dari pertentangan kedua keluarga ini, sehingga pecahlah peperangan yang cukup besar, yang membawa banyak korban di kedua belah pihak.

Pada bulan April 1834, Belanda menyiapkan kekuatan armada yang cukup kuat untuk menandingi kekuatan armada Raja Alam, apalagi dalam masa tersebut tidak ada peperangan lainnya di Nusantara setelah perang Diponegoro di Jawa. Armada Belanda itu terdiri daru kapal Api jenis korvet (Heldia, Brink Sjiwa), jenis Skoner (Crocodile dan Kastor) serta perahu-perahu perang, yang dikirim ke Batavia dan Makassar.

Peperangan besar terjadi pada bulan September 1834 yang melibatkan Belanda dan Raja Alam di peraira Laut Putih. Belanda sempat kewalahan ketika melawan armada laut Raja Alam yang menggunakan perahu-perahu tanpa mesin, namun akhirnya harus tunduk kepada Belanda karena keterbatasan alat perang. Sehingga dalam perang ini gugurlah panglima Syarif Dakula.

Belanda tidak tinggal diam, karena Raja Alam sulit untuk ditangkap, akhirnya Belanda sengaja mengumpulkan keluarga Raja Alam serta menjadikannya tawanan untuk ditukar kepada Raja Alam agar menyerahkan diri. Dan akhirnya Raja Alam menyerah yang kemudian diasingkan ke Makassar dalam kurun waktu yang cukup lama.

***


 
Siapa yang menilai tulisan ini?
    1

Wiwin Adin...

Bermanfaat
Tulis Tanggapan Anda
Guest User


Ingin menyampaikan pertanyaan, saran atau keluhan?

Subscribe and Follow Kompasiana: