Hukumonline.com
(Go: >> BACK << -|- >> HOME <<)

  

   Jum'at, 28 September 2007

Klinik  I  Agenda I  Direktori I     

 
Kolom
 
Pembaharuan Hukum Catatan Sipil dan Penghapusan Diskriminasi di Indonesia
Wahyu Effendi(*)

[28/6/04]

Diskriminasi dalam konteks kultural, hubungan antar-individu, sebenarnya merupakan fenomena yang umum terjadi di manapun di belahan dunia ini. Namun, menjadi tidak lazim ketika suatu pemerintahan yang berdasar hukum (rechtsstaat) dan demokrasi, melakukan politik diskriminasi terhadap warga negaranya sendiri. Apalagi jika dilakukan melalui berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan.

Dalam konteks Indonesia, diskriminasi menjadi kebijakan yang populis dan tersistematis sejak zaman kolonialisme Hindia-Belanda. Pemerintahan kolonialis menerapkan kebijakan penggolongan penduduk Indonesia atas 4 (empat) golongan ras/etnis ataupun agama sebagaimana tertuang dalam Indische Staatsregeling (IS), yaitu : Eropa (Staatsblad (S). 1849), Tionghoa (S.1917), Indonesia asli Kristen (S.1933) dan Indonesia asli non-Kristen (S.1920) yang masing-masing dibedakan perlakuan status perdatanya.

 

Ironisnya, setelah kurang lebih satu abad berlalu, kebijakan model kolonialisme tersebut justru masih diterapkan oleh pemerintahan bangsa Indonesia sendiri. Bahkan, dengan dimensi yang lebih beragam dan terinstitusionalisasi. Memang, pasca kemerdekaan pemerintah Indonesia pernah mencoba untuk memperbaharui pola kebijakan penggolongan penduduk warisan pemerintah kolonial dengan Instruksi Presidium Kabinet Nomor 31/U/IN/12/1966, dan ditidaklanjuti dengan Surat Edaran Bersama Mendagri dan Menteri Kehakiman No: Pemudes 51/1/3 dan No. J.A/2/25 tanggal 28 Januari 1967 tentang Pelaksanaan Keputusan Presidium Kabinet No. 127/U/Kep/12/1966 dan Instruksi Presidium Kabinet N0: 31/U/IN/12/1966.

 

Namun, kebijakan tersebut tidak  menghilangkan penggolongan seperti yang diatur dalam Pasal 131 dan 163 IS.

Dalam perkembangannya, kebijakan warisan kolonialisme yang masih diterapkan mengakibatkan implikasi diskriminasi yang semakinmelembaga. Hal tersebut kemudian diikuti dengan eskalasi sentimen dan rekayasa politik, yang ujung-ujungnya menimbulkan kesemerawutan dan inkonsistensi hukum nasional, permasalahan diskriminasi warga negara menjadi semakin kompleks.

Munculnya beberapa produk perundang-undangan pada masa Orde Lama maupun Orde Baru seperti UU No.62/1958 tentang Kewarganegaraanyang mengatur pembuktian kewarganegaraan RI melalui sebuah dokumen formal (terutama bagi WNI etnis Tionghoa), UU No. 5/Pnps/1965 tentang Penodaaan Agama, yang menempatkan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam status “pengawasan”.

Belum lagi, penerapan UU No.1/1974, yang berimplikasi pada pembatasan dan pengakuan perkawinan hanya bagi warga pemeluk lima agama “resmi” negara. Hal tersebut semakin memperkeruh status kewarganegaraan dan hak-hak sipil warga negara Indonesia, terutama untuk mengakses pelayanan publik dalam bidang catatan sipil, dan lain-lain.

Alhasil, warga etnis Tionghoa lebih sering diperlakukan sebagai seorang etnis Tionghoa daripada statusnya sebagai WNI. Seorang WNI yang beragama Islam, lebih sering diperlakukan keislamannya daripada status ke-WNI-annya, sehingga status perdatanya berbeda dengan WNI. Namun, yang lebih mengherankan adalah seorang warga negara Indonesia etnis Tionghoa, apapun agamanya, dia akan tetap diperlakukan sebagai etnis Tionghoa.

Dengan kebijakan seperti itu, akan timbul banyak persoalan yang mengarah pada diskriminasi, seperti Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia (SBKRI) untuk WNI etnis Tionghoa atau pembatasan pelayanan pencatatan sipil untuk WNI yang beragama/kepercayaan di luar lima agama “resmi” negara. Banyaknya permasalahan diskriminasi itu berakar pada kebijakan segregatif dari peraturan catatan sipil warisan kolonialisme, dan diperparah oleh beberapa peraturan yang muncul belakangan.

Peraturan-peraturan diskriminatif yang ada, termasuk mengenai catatan sipil, pada hakikatnya bersifat administratif Namun, karena sifat keperdataan yang terkandung dalam pencatatan sipil, praktek segregatif dan diskriminatif tersebut mengakibatkan praktek pembatasan dan diskriminasi hak-hak sipil terhadap sebagian WNI.

Misalnya, seorang WNI Tionghoa diperlakukan diskriminatif, status perdatanya disamakan dengan seorang WNA RRC, yang hingga saat ini status kewarganegaraan mereka selalu “dipertanyakan” dalam bentuk kepemilikan SBKRI. Sekalipun WNI Tionghoa tersebut sudah bergenerasi-generasi menjadiWNI. “Keraguan” status warga negara tersebut mengakibatkan ketidakmenentuan hak-hak sipil dan politik mereka sebagai warga negara seperti mendapat pembatasan untuk masuk institusi pendidikan negara, pembatasan menjadi pegawai pemerintahan, mengalami perlakuan yang berbeda dalam pelayanan publik dan lain-lain.

Permasalahan serupa dialami pula oleh WNI yang menganut agama/kepercayaannya, selain lima agama resmi negara. Mereka yang masuk ke dalam kategori ini tidak mendapatkan hak-hak mereka untuk mendapatkan pelayanan publik pencatatan sipil peristiwa penting dalam kehidupannya seperti pencatatan kelahiran, perkawinan, kematian, pengangkatan, pengesahan dan adopsi anak, perubahan nama, perubahan jenis kelamin, serta perubahan kewarganegaraan.

Pada akhirnya, diskriminasi yang diterima oleh warga yang tidak memeluk salah satu agama yang diakui negara itu sangat mempengaruhi kehidupan keturunan mereka. Anak yang terlahir dari keluarga itu sering dianggap “anak haram”. Bahkan, dalam kehidupan sipil mereka mendapat perlakuan diskriminatif antara lain dalam hal kesempatan untuk menjadi pegawai di lembaga pemerintahan, pendidikan, dan lain-lain. Begitupun halnya mereka yang menikah berbeda agama/kepercayaan. Munculnya UU No.1/1974 tentang Perkawinan  yang menekankan pernikahan berdasarkan agama/kepercayaan yang seragam, melahirkan sikap kantor Catatan Sipil dan Kantor Urusan Agama untuk menolak pernikahan berbeda agama.

Dalam kondisi terkini, ternyata pengelolaan sistem dan manajemen catatan sipil yang berbasis aturan staatsblad  tersebut, mengakibatkan permasalahan diskriminasi terhadap kelompok warga negara yang lebih luas, terlepas dari apapun etnis dan agamanya. Sudah banyak diketahui betapa banyaknya WNI yang tidak tercatat dalam pendaftaran pemilih Pemilihan Umum 2004. Perspektif catatan sipil yang selalu ditempatkan dalam kerangka pendaftaran penduduk, akhirnya membiaskan status perdata penduduk warga negara dan penduduk non-warga negara Sehingga tidak diketahui siapa saja penduduk secara pasti yang mempunyai hak untuk menjadi pemilih dalam Pemilihan Umum 2004.

Catatan Sipil dan Diskriminasi Etnis

Permasalahan diskriminasi etnis yang paling menonjol di Indonesia saat ini adalah permasalahan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa. Misalnya dengan kewajiban SBKRI sebagaimana disampaikan diatas.Walaupun ada beberapa kasus diskriminasi di Yogyakarta terhadap WNI etnis India untuk memiliki SKKI (semacam SBKRI), namun secara umum WNI etnis India, Arab, dan warga negara “keturunan” lainnya hampir tidak mengalami permasalahan pelembagaan diskriminasi sebagaimana WNI etnis Tionghoa. Bahkan, dalam praktek pelayanan catatan sipil, WNI etnis Arab dan India dikategorikan sebagai Indonesia bumiputera non-Kristen (S.1920).

Permasalahan diskriminasi etnik seperti disinggung dalam awal tulisan banyak hal bersumber pada IS, yang mana WNI etnis Tionghoa atau mereka yang beretnis Cina, apapun warga negaranya, dikategorikan dalam satu kelompok perdata yang sama, yaitu golongan Tionghoa (S.1917). Sehingga, seorang WNI etnis Tionghoa yang mencatatkan diri ke KCS akan diperlakukan sama sebagai golongan Tionghoa, (S.1917) sama status perdatanya dengan seorang Tionghoa warga negara Malaysia.

Dalam praktek, seorang anak WNI etnis Tionghoa yang akan mendaftar ke sekolah akan mendapatkan pembatasan masuk untuk WNA (40 persen untuk sekolah-sekolah) seperti semangat dalam Instruksi Presidium Kabinet No.37/U/IN/6/1967 tentang Kebijakan Pokok penjelasan Masalah Cina maupun dalam Surat Presiden RI ke Menteri P dan K (sekarang Menteri Pendidikan Nasional) dan Menteri Dalam Negeri No. B-12/Pres/I/1968 tanggal 17 Januari 1968, dan Instruksi Menteri P dan K No. 18/U/1974 tanggal 23 November 1974 serta Keputusan Menteri P dan K No. 0170/U/1975 tentang Pedoman Pelaksanaan Asimilasi (Pembauran) di bidang Pendidikan.

Permasalahan diskriminasi etnis WNI Tionghoa di Indonesia adalah permasalahan yang selalu menjadi berita belakangan ini, terutama dengan masih diterapkannya SBKRI. Walau terlihat seperti suatu permasalahan administratif semata, namun SBKRI menimbulkan permasalahan kewarganegaraan yang sangat mendasar bagi WNI etnis Tionghoa. SBKRI yang bertubi-tubi dipersyaratkan dalam setiap pelayanan publik seperti dalam permohonan paspor di kantor imigrasi, masuk sekolah, pengajuan kredit, pengurusan akte tanah, pengurusan KTP.

Kendati sudah dianggap bagian dari Negara Republik Indonesia dengan penegasan ius solli (tempat kelahiran) dalam UU Kewarganegaraan yang pertama No. 3 Tahun 1946, keadaan malah menjadi semakin kompleks dengan adanya perjanjian Konperensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Perjanjian tersebut mengembalikan status kewarganegaraan dalam pembagian warga negara berdasarkan penggolongan etnis. Ada juga kewajiban pernyataan diri bagi WNI Tionghoa, yaitu pernyataan menolak bila tidak ingin menjadi WNI, dan cukup berdiam diri bila tetap menjadi WNI.

Setelah masalah tersebut selesai, muncul lagi permasalahan Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan RI-RRT pada tahun 1955 dengan UU No. 2 Tahun 1958 dikarenakan adanya klaim politik Chou En-Lai bahwa semua etnis Tionghoa  yang berada di manapun akan tetap menjadi warga negara RRT dikarenakan asas ius sanguinis (keturunan). Untuk itu, semua WNI etnis Tionghoa diwajibkan untuk menyatakan diri tetap menjadi WNI atau WN RRT dengan masa opsi 20 Januari 1960 sampai dengan 20 Januari 1962.

Seharusnya, setelah perjanjian dwi-kewarganegaraan tersebut dibatalkan tanggal 10 April 1969 dengan Undang-Undang No.4 Tahun 1969, permasalahan status WNI Tionghoa sudah terselesaikan dan anak-anak WNI Tionghoa  yang lahir setelah tanggal 20 Januari 1962 sudah menjadi WNI tunggal, yang setelah dewasa tidak diperbolehkan lagi untuk memilih kewarganegaraan lain (Penjelasan Umum UU No. 4 Tahun 1969) dan tidak perlu lagi membuktikan kewarganegaraannya dengan SBKRI.

Dokumen SBKRI untuk WNI Tionghoa, yang dilembagakan dengan Peraturan Kehakiman No. JB.3/4/12, 14 Maret 1978 pun sebenarnya secara yuridis sudah dianulir oleh Keputusan Presiden No. 56 Tahun 1996 yang menyatakan: untuk kepentingan tertentu yang memerlukan kewarganegaraan RI, istri dan atau anak (yang sudah menjadi WNI karena perkawinan) cukup mempergunakan Keputusan Presiden mengenai pemberian kewarganegaraan suami/ayah atau ibunya beserta berita acara pengambilan sumpah atau KTP atau Kartu Keluarga atau Akta Kelahiran. Selanjutnya, Keppres tersebut ditegaskan kembali implementasinya dengan Instruksi Presiden No. 4 Tahun 1999.

Namun, pada kenyataannya resolusi hukum yang sudah ada tentang tidak berlakunya SBKRI bagi WNI Tionghoa tersebut, tidak diimplementasikan oleh berbagai pejabat instansi di pusat maupun daerah.

Diskriminasi agama

Seperti juga disinggung dalam tulisan di awal, bahwa praktek penggolongan status penduduk Indonesia yang didasarkan juga pada agama selain etnis, menimbulkan praktek-praktek segregasi dan diskriminasi warga negara  berdasarkan agama di Indonesia.

Dikarenakan Belanda waktu itu yang warga negaranya mayoritas beragama Kristen, maka penggolongan agama utamapun didasarkan kepada golongan Kristen yaitu golongan bumiputera Kristen (S.1933), sedangkan yang bukan Kristen seperti Islam, Budha, Hindu, dan lainnya, dikelompokkan dalam golongan bumiputra Non-Kristen (S.1920). 

Lahir dari pencatatan peristiwa penting manusia di gereja di daratan Eropa, ditambah dengan penggolongan bumiputera (Kristen maupun Non-Kristen) yang hanya terbatas pada golongan ningrat dan yang mampu secara ekonomi, serta mereka yang di Jawa dan Bali, catatan sipil menjadi sangat tidak populer di kalangan masyarakat kecil (rakyat biasa dan miskin). Sehingga dalam perkembangannya, setelah Indonesia merdeka, banyak di antara mereka yang kemudian digolongkan sebagai non-staatsblad.

Ini awal dimulainya segregasi hukum dan diskriminasi terhadap warga negara berdasarkan identitas agama/kepercayaan. Pemerintah berusaha memperbaiki keadaan tersebut dengan mengeluarkan UU No.1/1974. Undang-undang tersebut menghapuskan beberapa aturan staatsblad tentang perkawinan. Misalnya, Reglemen tentang perkawinan campuran (S.1846) dan Reglemen Perkawinan Kristen (S.1933). Namun kemudian, produk hukum ini menimbulkan permasalahan baru dengan pembatasan pencatatan perkawinan hanya kepada lima agama “resmi” Negara.

Pengertian agama dan kepercayaannya yang diatur dalam Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan hanya kepada lima agama “resmi” negara lebih didasarkan pada penafsiran Departemen Agama berdasarkan lima direktorat jenderal dalam Departemen Agama yaitu Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha.

Beberapa kasus pernikahan Konghucu yang bahkan sudah mendapat pengesahan dari Mahkamah Agung, selalu saja mendapat penolakan dari kantor Catatan Sipil dengan anggapan bahwa pengesahan MA tersebut hanya berlaku bagi pasangan perkawinan Konghucu dalam pengesahan MA saja, dan tidak berlaku untuk pasangan Konghucu yang lain. Begitupun halnya dengan pasangan perkawinan adat Karuhun Sunda Kepercayaan Terhadap Tuhan YME, yang sampai saat ini tidak mendapatkan pencatatan dari kantor Catatan Sipil. .

Begitupun halnya dengan pernikahan mereka yang berbeda agama, walaupun tidak serta-merta menutup peluang pernikahan antar pasangan yang berbeda agama dan kepercayaan, namun UU Perkawinan menjadi petunjuk bagi petugas KCS atau KUA untuk menolak pencatatan perkawinan tersebut. Pasal 2 ayat 2 UU Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah kalau dilangsungkan berdasarkan agama dan kepercayaannya.

Akibat sulitnya mencatatkan perkawinan beda agama di Indonesia, banyak sekali pasangan beda agama yang terpaksa harus mencatatkan perkawinan mereka di luar negeri untuk akhirnya dilaporkan ke KCS di Indonesia. Yang menyedihkan ialah mereka yang tidak mampu untuk menikah di luar negeri, terpaksa harus melangsungkan pernikahan tanpa akta perkawinan, yang oleh RUU KUHP yang sedang dirancang oleh Departemen Kehakiman disebut “kumpul kebo”.

Disinyalir oleh Departemen Dalam Negeri ada sekitar 5.000 pasangan Indonesia berbeda agama setiap tahun di Singapura. Sungguh ironis, bahwa warga negara Indonesia di dalam negeri tidak mendapatkan perlindungan hukum, justru mendapatkan perlindungan hukum dari negara lain.

Salah satu rekomendasi yang harus dilakukan untuk penghapusan diskriminasi warga negara dan penciptaan kesetaraan WNI adalah dengan memperbaharui peraturan perundangan bidang catatan sipil. Walaupun tidak serta merta dapat menghapuskan diskriminsi warga negara di Indonesia, namun pembaharuan hukum catatan sipil membuka jalan bagi pembaharuan peraturan perundangan lainnya seperti pembaharuan UU Perkawinan, UU Kewarganegaraan, KUH Perdata, UU Imigrasi, dan lain-lain.

Sebagai muara dari semua peraturan keperdataan di Indonesia, pembaharuan hukum catatan sipil menjadi sangat penting, terlebih karena penggolongan etnis dan agama dalam staatsblad, berada dalam lingkup catatan sipil. Pembenahan catatan sipil Indonesia akan ikut menata keteraturan pemerintahan dalam administrasi kependudukan saat ini dan tata pemerintahan yang baik. Keamburadulan pengelolaan administrasi kependudukan seperti ketidaktepatan jumlah penduduk, KTP ganda, KTP palsu dan sebagainya, membutuhkan pondasi pengelolaan sistem catatan sipil yang terencana, terarah, continue dan tidak diskriminatif.

((*) Ketua Umum Gerakan Anti Diskriminasi Indonesia (GANDI))

Berita Terkait
 [2/7/04] Berita : Pencabutan SBKRI Perlu Disosialisasikan kepada Aparat Imigrasi
 [24/1/05] Berita : Akui Perkawinan Konghucu, DPR Minta RUU Catatan Sipil Dikaji Ulang
 [21/7/06] Wawancara : Lies Sugondo: Biarkan Pengadilan yang Menentukan Keabsahan Perkawinan
 [18/6/07] Berita : KADI Minta Makna Diskriminasi Diperluas


 
 

      
Tanggapan

   Bukan jamannya lagi mengikuti pepatah "setitik nil
[8/2/05] - Saya rasa kita tidak perlu saling menjelekkan. Bgm kita bisa berharap Indonesia berubah kalo kita tidak melakukan perubahan dari diri kita sendiri. Saudari Novie dan saudara Iqbal, kita tidak perlu saling bercerita keburukan ras. Karena kita tidak pernah minta dilahirkan dengan ras tertentu bukan? Saya adalah hasil dari gabungan pribumi dan china. Lebih menyakitkan karena saya tidak diterima oleh kedua ras tersebut. Dan diskriminasi yang saya terima ataupun keluarga saya terima juga menyakitkan bahkan diskriminasi itu saya temui didalam keluarga saya sendiri. Pada intinya kita tidak perlu saling menghina toh pada saat kita meninggal nantinya semua itu tidak akan berguna. Bukankah dimata Tuhan kita semua sama? Saudara Iqbal, yang dimaksud saudara Wahyu Effendi adalah tidak perlu ada pembedaan departemen cukup satu apakah itu catatan sipil atau KUA sama saja. Tujuannya,kan sama untuk mencatat pernikahan. Dan saya setuju itu. Saudari Novie dan saudara Iqbal, hilangkanlah perasaan diskriminasi tidak ada gunanya,lakukanlah perubahan mulai dari diri kita sendiri. Tidak semua pribadi baik dari ras pribumi ataupun ras china seperti yang anda berdua ceritakan. Bukan jamannya lagi mengikuti pepatah "setitik nila merusak susu sebelanga".
ira t <ira_t@telkom.net>

   WNI Keturunan Cina di Indonesia. Lebih banyak duka
[23/1/05] - Saya sangat setuju dengan pembaharuan dalam hukum Catatan Sipil dan penghapusan diskriminasi di Indonesia. Sebagai seorang WNI keturunan Cina,sejak kecil saya merasakan banyak kesedihan.Mulai dari pembedaan perlakuan,pembedaan pengenaan sumbangan,diskriminasi dalam pekerjaan,kesempatan bersekolah,mendapatkan satus. Ini perlu saya sampaikan kepada saudara M.Iqbal (pinysang_hoeka@yahoo.com)bahwa ada tetangga kami karena takutnya anak-anak nya tidak dapat bersekolah,ia menikah dengan wanita pribumi secara sah lalu supaya anaknya tidak kena kesulitan spt ayahnya yang WNI keturunan Cina maka dibuatlah agar dalam akta kelahiran anaknya tersebut sebagai anak luar kawin agar hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya saja untuk memudahkan masuk ke sekolah. Dijalan,disekolah bahkan dilingkungan kami, sejauh dan sebaik apapun kami membaur, tetap saja diolok-olok dengan "Cina". Beberapa yang tidak tahan akhirnya trauma menjadi keturunan Cina dan lebih suka mencari jodoh orang pribumi bahkan mengubah agamanya. Perlu Saudara M.Iqbal ketahui bahwa apa yang diungkapkan Wahyu Effendi adalah benar.Seorang rekan bahkan hingga mengubah agamanya menjadi Islam (hanya di KTP) agar tendernya berhasil. Dan ternyata benar... Mungkin saudara M.Iqbal tidak merasakan penderitaan kami yang selalu didiskriminasikan ini. Kami selalu menghormati agama dan etnis apapun selama kami juga dihormati dan tidak diperlakukan dengan tidak adil.Mungkin saudara bisa coba perbanyak bergaul dengan semua orang agar jauh lebih memahami.Mendengar,melihat dan merasakan sendiri.Yang saya percaya,Ras atau ETNIS hanyalah bungkus kita. Wujud kita yang sudah diberikan dan digariskan oleh Tuhan.Jadi,tidak sepantasnya anda mengatai kami dengan embel-embel "sipit".Karena kami adalah ciptaan Tuhan.Jika anda melecehkan ciptaanNya,sama dengan anda melecehkan Tuhan. Sedangkan agama adalah kendaraan.Terserah pribadi masing masing mau pakai kendaraan apa.Selama di jalan saling menghormati dalam berkendara.Apa yang kita pakai untuk menuju pada Tuhan.Tinggal jalan mana yang kita pakai.Sudah benarkah jalan hidup anda?Terus terang,mengenai label HALAL... ada satu cerita nyata. Bahwa saya pernah mendapati suatu produk berbau suatu agama yang didalamnya ada kesalahan yang cukup fatal(ada surat dari lembaga tersebut yang berwenang mengeluarkan sertifikasi). Akan tetapi dengan 20jt.... Produk tersebut laris manis di pasaran dan sampai saat ini beredar dipasaran dengan sertifikasi dari lembaga tersebut. Dari sini yang saya ingin anda pelajari bahwa lembaga tersebut... kumpulan orang-orang bersih mestinya. Karena mengatasnamakan suatu agama. Akan tetapi,kenapa mereka rela merugikan umatnya sendiri?Kembali lagi pada sifat manusia.. Ada rakus,ada serakah,ada kebaikan, ada cinta kasih... Saran saya,perbanyaklah bergaul. Mungkin dengan demikian wawasan anda akan jauh lebih terbuka, sehingga lebih memahami orang lain. Terutama minoritas seperti kami. Lupakan tembok-tembok dan sekat-sekat. Kita ini makhluk Tuhan. Semua sama dihadapanNya. Mata sipit,kulit kuning,mata besar,kulit hitam,cantik,jelek,Jawa,Cina,Maluku,Aceh,Papua,Dayak... atau apapun lainnya adalah bungkus... Kalau matipun kita akan kembali menjadi tanah. Coba Saudara renungkan,semoga akan dapat merubah pandangan anda yang sempit menjadi lebih berwawasan
Novie <Novie_sidoarjo@yahoo.com>

   Kebebasan individu
[11/8/04] - Rasanya sudah saatnya hal-hal yang bersifat pribadi atau individual seperti soal pernikahan, perceraian, keagamaan "dijauhi" oleh pemerintah.... sebab adalah kebebasan individual untuk menganut kepercayaan tertentu, memilih pasangan hidup (baik yg berbeda agama, etnis, dsb), memutuskan untuk bercerai, dsb.. Pemerintah sebaiknya membuat peraturan yang lebih bersifat "administratif" dan tdk mencampuri keputusan2 tersebut.
Ondi Nababan <ondi_maulin@yahoo.com>

   Dogmatis tidak jawab masalah
[6/8/04] - Pendekatan dogmatis dalam menjawab masalah-masalah sosial sangat sulit untuk bisa menghasilkan penanganan yang efektif dan realistik. Keanehan kita di Indonesia adalah, banyak orang sangat senang bicara dogmatis (terutama dogma agama) dan pada saat yang sama melakukan diskriminasi, korupsi, pelecehan sosial dll. Jadi makna agama justru direduksi ke tingkat paling rendah. Di negara Barat justru terbalik, dogma menjadi urusan pribadi dan sumber semangat yang membentuk etos sosial yang benar. Orang menolak korupsi, kehidupan masyarakat ditata secara teratur, rapih, sehat, dan bertanggung jawab. Hukum ditegakkan secara benar. Apa yang dikata itu yang dilakukan. Ada narkoba dan hedonisme lainnya, tetapi tidak menjadi milik umum. Di Indonesia, malah menimbulkan semangat 'suka mengintip' yang terlarang (perhatikan maraknya acara-acara ini di tv). Jadi, sebenarnya yang perlu berubah itu siapa?
Rudi B <rudi23304@yahoo.com>

   Instropeksi
[23/7/04] - Sudah sepantasnya saat ini kita merenung ulang, sejauh mana nilai-nilai kemanusiaan tersebut kita junjung tinggi. Pengadilan Agama sebagai perwujudan dari hukum sebaiknya dihapuskan. Mengapa demikian? Karena hanya orang yang tidak bermorallah yang mau bercerai, orang-orang yang tidak mempunyai nilai-nilai luhur. Bagaimana nasib istri dan anak apabila suami menceraikannya? Serta sebaliknya bagaimana nasib suami? Untuk itu kita harus mempertahankan keutuhan rumah tangga dan tidak memberikan kesempatan untuk bercerai, kasihan melihat begitu banyak korban dari adanya lembaga pengadilan agama.
Frans H W <franshwa@cbn.net.id>

   jangan kebablasan bung
[21/7/04] - dalam beberapa aspek dalam tulisan wahyu effendi itu saya sepakat ... namunada beberapa yang menurut hemat saya sudah kebablasan, yaitu apakah sampai demikian perlunya KUA dan Peng. Agama harus dihapus pernahkah anda berpikir kalo kemudian dihapus akan meningkatkan perceraian broken home kemudian akhirnya mencetak generasi yang tidak sehat narkoba merajalela akhirnya kejahatan meningkat dan semakin banyak kawin siri dan kumpul kebo, apakah bangsa ini sudah demikian sekulernya sehingga memikirkan hukum dengan aras demokrasi yang sepotong kulit belaka, apakah kita perlu melegalkan perkawinan beda agama pernahkah anda berpikir bahwa hal ini akan memicu timbulnya dan meningkatnya kalangan atheis di bangsa ini apakah anda lupa dengan sila satu pancasila???, setiap orang bisa berbeda pandangan dan sikap, bagi saya penyamarataan status sudah harus dilaksanakan bangsa ini terhadap etnis apapun itu termasuk tionghoa namun itu tidak hanya pada dataran regulasi saja, namun juga sikap hidup dan rasa patriotik masyarakat terhadap bangsa. yang kita lihat selama ini adalah ternyata golongan kaum sipit lebih bangga mendeklarasikan dirinya sebaga etnis tionghoa ketimbang Bumiputra, kmd anda seharus nya berpikir tidak dalam satu sisi ini saja namun juga harus komprehensif misalnya tentang persamaan kedudukan di depan hukum, kita tau bahwa selama ini banyak orang tionghoa yang relatif mudah lepas dari jeratan hukum ketimbang bumiputera padahal negara ini sudah rugi demikian banyak karenanya. dan satu lagi anda harusnya mengungkapkan keadilan hukum antara islam dan kristen, negara ini mayoritas islam namun umat islam selalu ditekan dan dirugikan baik secara hukum, materiil, maupun kebebasan berpendapat, apakah ini tidak masuk dalam perspektif anda tentang demokrasi dan keadilan dan satu lagi tentang kebebasan dan perlindungan bagi orang untuk beragama dan memperoleh pelajaran agama sesuai agama masing2 seperti yang ada di sisdiknas bagaimana implementasinya saat ini ternyata nol besar, kemudian tentang hak umat untuk memperolah makanan halal yang di tegaskan lewat logo halal pada setiap product, ini tidak pernah jebol dari dulu padahal ini adalah kepentingan umat bangsa ini, knp anda tidak berpikir kesana, demokrasi bukan milik barat ... maka anda pun dalam mengolah makna demokrasi tidak harus terus berkaca pada barat kan ... saya harap anda berimbang ...
Muhammad Iqbal <Pinysang_hoeka@yahoo.com>

   Diskriminasi di Indonesia
[16/7/04] - Sungguh suatu ironi bahwa ternyata diskriminasi dilembagakan dalam aturan formal (perundangan). Ini harus menjadi agenda hukum untuk pemerintah baru, sehingga tidak menjadi rancu. Sayang bahwa penegakan hukum sering dijadikan komoditas politik dari penguasa untuk mendapatkan dukungan mayoritas rakyat dan bukan berdasarkan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini tidak saja berlaku dalam Hukum catatan Sipil, tetapi juga yang lain.
Adolf Munthe <a.munthe@yahoo.com>

   MEMBENTUK SATU-SATUNYA LEMBAGA PENCATATAN
[8/7/04] - Sebagai negara yang telah merdeka setengah abad lebih sudah seharusnya sudah bisa menentukan dan membangun suatu lembaga pencatatan nasional atau CATATAN SIPIL untuk semua Warga Negara Indonesia tanpa melihat suku, agama dan ras atau keturunan. Sampai sekarang ini yang banyak dilakukan dan diterima oleh Catatan Sipil yaitu pemberian alat bukti atau Akta Kematian, Kelahiran, Perkawinan dan Perceraian untuk mereka yang bukan beragama Islam. Untuk yang beragama Islam perkawinannya dicatatkan dan memperoleh Surat Nikah dari Kantor Urusan Agama (KUA) dan bukti perceraiannya dari Pengadilan Agama, inilah salah satu bentuk diskriminasi yang dikembangkan dan dilembagakan oleh pemerintah yang perlu kita dobrak dan kita luruskan. Sebagai negara yang bercita-cita membentuk Unifikasi Hukum Nasional sudah seharusnya lembaga Catatan Sipil menjadi satu-satunya lembaga pencatatan (Catatan Sipil) yang berlaku untuk semua Warga Negara Indonesia, seperti Kelahiran, Kematian, Perkawinan dan Perceraian. Sehingga dengan demikian tidak perlu ada Kantor Urusan Agama (KUA) dan Pengadilan Agama. Untuk itu saya berpesan kepada DPR yang secara bersama-sama akan membahas RUU Catatan Sipil hal-hal yang diskriminatif seperti tersebut di atas harus dihilangkan dari Bumi Indonesia.
habib adjie <habib_adjie2000@yahoo.com>

   ada 2 cara penghapusan diskriminasi
[7/7/04] - Untuk menghilangkan/mengurangi praktek diskriminasi tsb.di Indonesia pada saat ini, menurut saya hanya ada 2 jalan, yaitu i) etnis tionghua ditempatkan di jajaran pemerintahan; atau ii) tinggal menunggu 200-300 tahun lagi ketika generasi indonesia baru muncul...
qilinme <qilinme2003@yahoo.com>

   pembaharuan berdasarkan budaya
[1/7/04] - kami sangat setuju untuk pembaharuan terhadap hukum catatan sipil. tetapi kami tidak setuju kalau pembaharuan tersebut seperti yang digambarkan oleh Wahyu Effendi karena sekarang ini Indonesia kehilangan moral dan budaya yang diakibatkan oleh isu serta intervensi asing dalam merubah kultur budaya indonesia ke kultur budaya yang sangat berbeda dengan luar atau asing. yang digemborkan dengan demokrasi serta kebebasan yang berlebihan. seharusnya indonesia lebih menitik beratkan terhadap kebudayaan yang beraneka ragam yang merupakan kelebihan dari pada Indonesia sesuai dengan tujuan berdirinya negara ini. mengenai hukum pada dasarnya kita hanya mengakui lima agama semenjak berdirinya Indonesia, adanya sikap toleransi sesama umat beragama. tetapi itu semua menjadi hancur ketika asing tersebut berusaha masuk untuk mendapatkan kepentingan-kepentingannya dinegara ini sehingga berharap terjadinya perpecahan agar kesepakatan yang telah ada seperti dulu hilang agar mereka dapat mendapat keuntungan. ditambah banyaknya orang yang tidak bertanggung jawab mengatas namakan SARA yang dikarenakan isu-isu tersebut. etnis tionghoa berbeda dengan etnis jawa,maupun etnis jawa dengan etnis sumatra, oleh karena itu suatu perbedaan tidak selalu dapat disatukan tetapi dicari persamaan. persamaannya yaitu saling menghargai satu sama lain sebagai umat manusia dan setiap umat manusia mempunyai hak dan kewajiban yang berbeda-beda. jangan etnis tionghoa seperti israel yang tidak punya lahan tetapi pingin punya lahan di palestina,begitu juga etnis tionghoa kalau bukan lahannya jangan pingin lahan tersebut menjadi punyanya. karena masyarakat indonesia sudah menderita dengan korupsi serta perusakan moral melalui judi-judi yang didalanginya serta penggelapan uang serta korupsi terutama diBank-Bank selama ini.kalaulah seperti yang diucapkan Wahyu Effendi dilaksanakan maka terjadi cheos & perpecahan dinegara ini tidak ada yang namanya NKRI..
Laskar  <FKPMR@yahoo.com>

Page  Next
 


  Nama          :
  Password :

   
[Daftar Disini]  [Lupa Password]   


   
Aktual

Gugatan Zaenal Ma'arif Ditolak
Awan hitam sedang bergelayut memayungi Zaenal Ma'arif. Bagaimana tidak, pada Rabu (26/9), berkas penyidikan terhadap dirinya dalam perkara pencemaran nama baik terhadap presiden Susilo Bambang Yudhoyono dinyatakan lengkap (P-21) oleh Kejaksaan Agung. sementara, pada Kamis (27/9), gugatan Ma'arif terhadap Bursan Zanubi (Ketua Umum Partai Bintang Reformasi, PBR), Rusman HM Ali (Sekjen) dan Yusuf Lakaseng (Wakil Sekjen) ditolak oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Wahjono, hakim yang memimpin persidangan dalam amar putusannya menyebutkan, menolak...
 
Terbaru
 
[27/9/07] Berita :
Pembunuhan Munir
Kasus Indra dan Rohainil Siap Disidangkan
   
[27/9/07] Berita :
Majelis: PKB Berlaku Bagi Seluruh Pekerja   
[27/9/07] Berita :
BI Terbitkan Peraturan Teknis Tentang Kemudahan Merger   
[27/9/07] Berita :
Satu Lagi Pejabat Kendal Masuk Penjara   
[27/9/07] Berita :
Pendaftaran Seleksi LPSK Terpaksa Diperpanjang   
[27/9/07] Wawancara :
Ketua DPRD Batam Soerya Respationo: Batam Harus Diatur Secara Khusus   
[9/9/07] Fokus :
Membedah SK KMA Tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan 
(10 tanggapan)  
[9/8/06] Profil :
Andi Samsan Nganro: Hakim Disorot Karena Dicintai 
(69 tanggapan)  
 
Isu Hangat
 
Akses Informasi
Kisruh Ikadin
Konsultasi Publik RUU KUHP
Sengketa Lahan Meruya
Sidang PHI