Sebagai tindak lanjut dari hasil kajian Panitia Negara Urusan Pertambangan, maka sistem konsesi dalam pengusahaan pertambangan tidak lagi digunakan karenak dinilai memberikan hak yang terlalu luas dan terlalu kuat bagi Pemegang Konsesi, sehingga diganti dengan Kuasa Pertambangan. Maka pengusahaan pertambangan Migas dilakukan oleh Negara dan dilaksanakan hanya oleh Perusahaan 8 Negara.

Hal ini tertuang didalam UU No. 37 Prp Tahun 1960 tentang Pertambangan sebagai pengganti “Indische Mijn Wet” dan UU No. 44 Prp Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi. Selanjutnya pengelolaan Migas Indonesia berada dibawah Kementrian Keuangan dengan kewenangan menunjuk kontraktor untuk melaksanakan pekerjaan yang belum atau tidak dapat dilaksanakan oleh perusahaan negara. Konsekuensinya semua pemegang konsesi pertambangan migas yaitu Shell, Stanvac dan Caltex pada saat itu beralih menjadi Kontraktor Perusahaan Negara.

Kemudian juga terjadi perubahan dalam perusahaan pertambangan negara. Berdasarkan UU No. 19 Prp. Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara dan UU No. 44 Prp. Tahun 1960, NV Niam (kepemilikan Pemerintah dan Shell) diubah menjadi PT. PERMINDO yang kemudian menjadi Perusahaan Negara Pertambangan Minyak Indonesia (PT. PERTAMIN) berdasarkan PP No. 3 Tahun 1961. Menyusul PT. TMSU di Sumatera Utara juga diubah menjadi PT Perusahaan Minyak Nasional (PT. PERMINA), yang kemudian menjadi PN. PERMINA.

Pada pertengahan tahun 1960-an seluruh aset perminyakan dan gas bumi yang sudah terikat Kontrak Karya dikuasai oleh Negara yang pengelolaannya dilakukan melalui perusahaan negara yaitu PN.PERTAMIN, PN.PERMINA, dan PN.PERMIGAN. Selanjutnya PN. PERTAMIN dan PN. PERMINA menjadi PN.PERTAMINA atas dasar PP No. 27 Tahun 1968 yang kemudian berubah menjadi PERTAMINA berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, sebagai satu-satunya perusahaan negara pemegang Kuasa Pertambangan di Indonesia.

PERTAMINA sebagai “Integrated State Oil Company” mendapatkan tugas sebagai pelaksana pengusahaan pertambangan migas. Pertamina juga mendapatkan Kuasa Pertambangan yang meliputi Eksplorasi, Eksploitasi, Pemurnian dan Pengolahan, Pengangkutan serta Penjualan. Berdasarkan UU No.8 tahun 1971, PERTAMINA dapat mengadakan kerjasama dengan pihak lain dalam bentuk “Kontrak Production Sharing” dengan syarat tertentu dan berlaku setelah disetujui oleh Presiden untuk kemudian diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Syarat-syarat dalam kerjasama tersebut harus diusahakan syarat yang paling menguntungkan Negara. 9

Gambar 1. Kelembagaan Pengelolaan Migas Indonesia berdasarkan UU No.8 tahun 1971 Periode 2001 – Sekarang (BP Migas)

Pada tanggal 23 Nopember 2001 disahkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi karena Undang Undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 dipandang sudah tidak sesuai dengan perkembangan usaha pertambangan migas baik dalam taraf nasional maupun internasional2. Dengan berlakunya UU No.22 tahun 2001 tersebut, maka terdapat ketentuan yang dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu: 2 Perubahan UU Migas banyak dipandang sebagai liberalisasi sektor migas di Indonesia. Amandemen UU Migas merupakan paket kebijakan yang harus dilakukan oleh Indonesia sebagai syarat untuk mendapatkan bantuan dari IMF guna menghadapi krisis finansial tahun 1998.

  • Undang-Undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi;
  • Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1962 tentang Penetapan PERPU No. 2 Tahun 1962 tentang Kewajiban Perusahaan Minyak Memenuhi Kebutuhan Dalam Negeri;
  • Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara, berikut segala perubahannya, terakhir dengan UU No. 10 Tahun 1974.
  • Segala peraturan pelaksanaan UU No. 44 Prp. Tahun 1960 dan UU No. 8 Tahun 1971.

Konsekuensi dari lahirnya UU No.22 tahun 2001 ini adalah Pemerintah sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan. Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa penguasaan atas Migas tetap berada pada Negara, namun pelaksanaannya diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan.

Kemudian dalam Pasal 1 angka 5, Kuasa Pertambangan adalah wewenang yang diberikan Negara kepada Pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi.

Di sinilah letak perbedaannya dengan UU No. 44 Prp. Tahun 1960 dimana yang memegang Kuasa Pertambangan adalah Perusahaan Negara yaitu Pertamina.

Konsekuensi yang kedua, kalau berdasarkan UU yang lama kegiatan usaha migas itu mencakup hulu dan hilir. Tetapi berdasarkan UU No.22 tahun 2001 kegiatan usaha migas dipisahkan antara usaha hulu dan hilir. Untuk hulu dibentuk Badan Pelaksana Migas (BP Migas) sedangkan untuk hilir dibentuk Badan Pengatur Hilir (BPH Migas). Dengan kata lain Pertamina sebagai badan usaha milik negara memiliki posisi yang sama dengan kontraktor migas lainnya.

Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) UU No. 22 Tahun 2001, Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan membentuk Badan Pelaksana yaitu Badan yang dibentuk untuk melakukan kegiatan pengendalian di bidang Kegiatan Usaha Hulu Migas. Kegiatan Usaha Hulu Migas itu sendiri menurut Pasal 6 UU No. 22 Tahun 2001 dilaksanakan dan dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama.

Sedangkan Kegiatan Usaha Hilir dikendalikan dengan Izin Usaha yang intinya adalah izin kepada Badan Usaha untuk melaksanakan kegiatan Hilir dengan tujuan memperoleh keuntungan. Kegiatan Usaha Hulu dilaksanakan berdasar Kontrak Kerja Sama (KKS), dimana menurut Pasal 6 ayat (2) UU No. 22 Tahun 2001 paling sedikit memuat:

  • Kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah sampai pada titik penyerahan;
  • Pengendalian manajemen operasi berada pada Badan Pelaksana;
  • Modal dan Resiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha atau Badan Usaha Tetap.

Pembentukan Badan Pelaksana yang melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan Usaha Hulu adalah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Dengan demikian, bila suatu badan usaha hendak mengadakan kerja sama dalam kegiatan usaha hulu migas tidak lagi berhubungan dengan Pemerintah selaku Pemegang Kuasa Pertambangan tetapi dengan Ditjen Migas dan BP Migas. Berdasarkan PP Nomor 42 Tahun 2002 tentang BP Migas, salah satu tugas BP Migas adalah melaksanakan penandatanganan 11 Kontrak Kerja Sama dengan Badan Usaha.

Gambar. Kelembagaan Pengelolaan Migas Indonesia berdasarkan UU No.22 tahun 2001

Beda UU Migas Dulu & Sekarang

Pada tahun 2001, Pemerintah telah menerbitkan Undang Undang Migas Nomor 22 tahun 2001 sebagai pengganti Undang Undang Nomor 8 tahun 1970. Tentunya, perubahan Undang-undang telah mengakibatkan perubahan yang mendasar dalam pengeloaan industri migas nasional serta kedudukan Pertamina.

Ada beberapa yang perlu dicatat mengenai perbedaan UU Migas dulu dan sekarang, diantaranya;

a) Sebelumnya hak mineral dikuasai Negara ( dengan kapital N ), sekarang dikuasai negara ( dengan n kecil yang diartikan hanya Pemerintah saja ).

b) Sebelumnya hak pertambangan dikuasai Pemerintah atas nama Negara dan didelegasikan kepada Perusahan Negara cq Pertamina, sekarang didelegasikan kepada Badan Pelaksana Migas.

c) Sebelumnya economic-right diberikan kepada Perusahan Negara ( Pertamina ), sekarang diberikan kepada Badan Pelaksana Migas.

d) Sebelumnya Pertamina adalah Badan Usaha atau korporasi, sekarang Badan Pengelola Migas adalah Badan Hukum atau bukan korporasi.

e) Sebagai konsekuensi butir d) bila terjadi tuntutan hukum, pada masa lalu yang bertanggung jawab adalah Pertamina, sekarang yang bertanggung jawab adalah Pemerintah cq Negara. Kebijakan ini bertolak belakang dengan praktik-praktik multi national corporation dimana untuk melindungi perusahaan dari tuntutan hukum mereka justru membentuk paper company, sedang kita justru melimpahkan tuntutan hukum menjadi kewajiban Pemerintah cq Negara.

f) Sebelumnya pada Kontrak Bagi Hasil, kontraktor kedudukannya di bawah Pertamina sebagai perusahaan yang dikontrak, sekarang pada Kontrak Kerja Sama kedudukan hukum kontraktor sejajar dengan Badan Pengelola Migas.

g) Sebelumnya semua ketentuan perpajakan dan bea masuk diatur dalam Undang Undang Nomor 8 tahun 1970, sekarang ketentuan tentang ketentuan perpajakan dan bea masuk diatur menurut masing – masing undang-undang.

h) Sebelumnya kepastian hukum dan kepastian operasi lebih jelas dan tegas tetapi undang-undang baru menimbulkan keraguan pada para kontraktor, sehingga investasi turun, produksi mi nyak turun 30 % dan penerimaan negara dari sektor migas sejak tahun 2001 turun.

i) Sebelumnya Pertamina masih mendapatkan penerimaan dari hasil pengelolaan Kontrak Bagi Hasil k.l. Rp 2 – 4 triliun pertahun. Sekarang penerimaan tersebut digunakan oleh Badan Pengelola Migas.

Melihat struktur hokum UU Migas No.22/2001, eksistensi Pertamina diarahkan untuk menjadi perusahaan yang terpecah-pecah menjadi berbagai anak-anak perusahaan. Hal ini mengakibatkan anak-anak perusahaan Pertamina rentan untuk privatisasi.

Sebagai perusahaan BUMN dan terbesar di Indonesia, pemerintah seharusnya membuka peluang seluas-luasnya bagi Pertamina untuk melakukan aliansi/kerjasama dengan pihak lain terutama dengan Perusahaan Minyak yang lebih maju.

Sebagai perbandingan perlu disimak langkah perusahaan minyak Malaysia Petronas yang dapat menjadi besar seperti saat ini justru karena meniru pola UU No.8/1971 dimana hingga saat ini Petronas oleh PDA 1975 (Petroleum Development Act 1975 Malaysia – mirip UU No.8/1971) tetap diberi Kuasa Pertambangan sehingga:

  1. Semua investor minyak asing (KPS) masih tetap berada di bawah pengawasan Petronas. Sedangkan di Indonesia, oleh UU 22/2001, Kuasa Pertambangan dicabut dari Pertamina. Saat ini pengawasan terhadap KPS dilakukan oleh BP Migas tidak lagi oleh Pertamina
  2. Penjualan migas bagian Negara yang berasal dari KPS, di Malaysia tetap dijual oleh Petronas. Sedangkan di Indonesia, oleh UU 22/2001, migas bagian Negara yang diperoleh dari KPS tidak bisa dijual langsung oleh BP Migas karena BP Migas bukan Badan Usaha, sehingga migas bagian Negara tersebut harus dijual oleh pihak ketiga (trader di Singapura ).
  3. Di Malaysia, tidak ada badan semacam BPH Migas (Regulator Hilir), sehingga Pemerintahlah (Ditjen Perdagangan Dalam Negeri) yang menetapkan harga jual BBM di pompa bensin sekaligus menetapkan marjin yang diperoleh oleh perusahaan minyak (termasuk perusahaan minyak asing yang menjual bensin). Harga jual yang ditetapkan oleh Pemerintah tersebut selalu diatas biaya dan mengacu kepada harga minyak dunia, sehingga Petronas dapat memperoleh keuntungan/marjin dari menjual BBM di dalam negeri. Sedangkan di Indonesia, harga jual BBM ditetapkan oleh Pemerintah tidak pernah memperhitungkan marjin bagi pelaku usaha (Pertamina) sehingga Pertamina tidak dapat mengakumulasi dana dari menjual BBM.